Salah satu
fenomena di Indonesia yang cukup menarik untuk dibahas adalah fenomena
pencarian berkah yang ada di gunung kawi. Baru beberapa minggu lalu, saya
melakukan penelitian di gunung kawi, dan menemukan sebuah hal yang menarik
untuk dicari jawabannya, yaitu tentang motif dari orang – orang yang
mengunjungi.
Penelitian yang
saya lakukan di Gunung Kawi menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam
menggali data, saya menggunakan observasi dan wawancara. Dalam memilihi
informan, saya menggunakan purposive sampling, atau bisa disebut dengan sampel
bertujuan.
Subjek yang menjadi informan utama
berasal dari Bromo, ia mengatakan bahwa ia sudah sering berziarah ke gunung
kawi. Ia mengatakan bahwa jika ingin mendapatkan berkah, kita harus berziarah
sebanyak 7 kali selama 7 bulan berturut
turut, dan setiap kali berziarah harus mengelilingi pesarean sebanyak bilangan
ganjil, baik itu sekali, 3 kali, ataupun 7 kali. Selain berziarah, ia
mengatakan cara lain untuk mendapatkan berkah adalah dengan memberikan
bungkusan atauoun besek yang berisikan bunga, bungkusan, uang, dan menyan.
Setelah besek yang dibawa diberikan kepada penjaga, nantinya bungkusan itu di
kembalikan, dan bisa kita simpan ataupun digantung di manapun, katanya
bungkusan itu berfungsi untuk memancing rejeki. Ada juga subjek tambahan saya,
ia mengatakan bahwa ia berasal dari pujon, ia mengatakan bahwa ia sudah sering
berziarah ke wisata ritual gunung kawi semenjak ia masih gadis hingga sekarang
ia sudah punya cicit. Ia percaya akan kekuatan mistik gunung kawi semenjak
diajak oleh ibunya ketika ia masih gadis, dan ia-pun merasakan bahwa kekuatan
pembawa rezeki itu memang ada dan sangat manjur. Menurutnya kekuatannya akan
lebih efektif ketika berziarah pada saat kamis wage, atau malam jum’at kliwon.
Namun berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, tidak adanya petunjuk tahapan
atau tata cara pelaksanaan dari pelaksanaan ‘wahana’ ritual yang terdapat di
wisata ritual gunung kawi, sehingga menyebabkan distorsi pemahaman dari para
pengunjung, sehingga mereka cenderung untuk mengikuti alur sesuai dengan apa
yang banyak diomongkan oleh masyarakat.
dapat dilihat bahwa motif yang digunakan
oleh para pengunjung wisata ritual gunung kawi adalah motif integrasi personal,
karena kebanyakan dari mereka memiliki motif untuk kepentinggan diri sendiri.
Dari informan – informan yang saya dapatkan, dapat saya lihat bahwa common sense masyarakat terhadap
kekuatan magis gunung kawi sangat berperan dalam membantu dalam memotivasi
masyarakat dalam hal mencari berkah. Hal ini juga diprakarsai oleh budaya
kejawen, yaitu berziarah yang memang sudah sangat kental merasuk ke dalam
masyarakat sekitar. ada informan yang mengatakan bahwa berziarah ke wisata
ritual gunung kawi bukanlah sebuah perilaku musyrik, karena pengunjung datang,
diibaratkan berusaha untuk mendapatkan berkah. Masyarakat sekitar pun mendukung
tercapainya motif dari para pengunjung dengan menjual besek ziarah di sekitar
pesarean, pengunjung diberikan fasilitas untuk berziarah, Pengunjung dengan
leluasa mendapatkan besek ataupun perlengkapan lain, dikarenakan harga –
harganya yang dapat dikatakan cukup terjangkau oleh pengunjung.
Jika ditinjau dari teori kebutuhan (Hierarchy of Needs) milik Abraham
Maslow, fenomena yang terjadi di wisata ritual gunung kawi sebagian besar masih
berada pada tingkatan pertama, kedua,dan ketiga dari teori kebutuhan Maslow.
Kebanyakan orang mengunjungi untuk mendapatkan berkah. Berkah dapat dikaitkan
dengan rezeki, dan rezeki itu sangat identik dengan kesejahteraan. Ketika masih
banyak orang yang mengunjungi gunung kawi dengan motivasi mencari rezeki, dapat
kita lihat bahwa kesejahteraan masyarakat masih rendah. Fenomena ini dapat
masuk ke tahap kedua juga, karena ada pengunjung yang berziarah untuk
mendapatkan perlindungan, dengan harapan dapat merasakn perasaan yang aman.
Fenomena ini dapat masuk dalam tahap ketiga karena banyak pengunjung yang
mendatangi wisata ritual gunung kawi untuk diperlancar dalam mencari jodoh.
Fenomena ini dapat masuk kedalam tahap keempat karena ada pengunjung yang
memohon untuk diperlancarkan dalamn masalah karir, ataupun status sosial.
Fenomena ini juga dapat masuk ke tahap kelima dikarenakan ada pula pengunjung
yang sengaja berziarah, dikarenakan sudah menjadi passion dia untuk berziarah
setiap bulannya. Pengunjung yang berada dalam tahap ke lima memiliki alasan
yang sedikit irasional, biasanya ketika mereka tidak mengunjungi makam mbah
Jugo, maka ada sesuatu yang dirasa kurang olehnya.
Jika fenomena ini ditinjau dari segi
psikologi perkembangan, informan utama yang saya dapatkan berada pada tahap
dewasa awal. Dalam ilmu psikologi perkembangan, perkembangan kognitif yang
terjadi pada tahap dewasa awal adalah Post-Formal
Reasoning, dan yang sangat kental dalam fenomena ini adalah ciri Pragmatism dan Awareness of Paradox. Pragmatisme dapat dilihat dari segi
bangaimana mereka berusah mencari berkah setelah mereka sadar bahwa, mereka
ingin mendapatkan rezeki yang lebih, sehingga mencari jalan yang lebih singkat,
dengan memohon rezeki di pesarean. Sifat pragmatis ini-pun dapat berkaitan
denga konsep Awareness of Paradox,
artinya ialah ia sadar akan resiko ketika ia tidak berusaha berziarah, ia akan
mengalami kesusahan dalam hidup, maka dari itu ia mencoba untuk merubah
nasibnya.
Namun jika melihat kondisi informan
sekunder, ia berada pada tahap dewasa akhir. Dalam tahap dewasa akhir,
seseorang cenderung untuk tidak berpikir secara pragmatis. Dalam tahap ini
seseorang sudah sangat susah untuk menerima informasi baru, dan ini terbukti
ketika informan menceritakan “romantisme” masa lalu yang ia alami semenjak ia
masih gadis, hingga kini ia memiliki cicik, hal ini menandakan bahwa Long Term Memory ( LTM ) lebih aktif
dibandingkan dengan Short Term Memory (
STM ), karena ia bertanya berkali – kali asal saya. Jika kita melihat konsep
LTM, yang berada dalam LTM adalah emosi dan kepercayaan. Maka dari itu biasanya
pengunjung – pengunjung yang berada pada tahap ini, biasanya terletak dalam
tahap kelima dari teori kebutuhna Maslow.