Senin, 11 Juni 2012

Wisata Ritual Gunung Kawi




Salah satu fenomena di Indonesia yang cukup menarik untuk dibahas adalah fenomena pencarian berkah yang ada di gunung kawi. Baru beberapa minggu lalu, saya melakukan penelitian di gunung kawi, dan menemukan sebuah hal yang menarik untuk dicari jawabannya, yaitu tentang motif dari orang – orang yang mengunjungi.
Penelitian yang saya lakukan di Gunung Kawi menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam menggali data, saya menggunakan observasi dan wawancara. Dalam memilihi informan, saya menggunakan purposive sampling, atau bisa disebut dengan sampel bertujuan.
      Subjek yang menjadi informan utama berasal dari Bromo, ia mengatakan bahwa ia sudah sering berziarah ke gunung kawi. Ia mengatakan bahwa jika ingin mendapatkan berkah, kita harus berziarah sebanyak 7 kali selama 7  bulan berturut turut, dan setiap kali berziarah harus mengelilingi pesarean sebanyak bilangan ganjil, baik itu sekali, 3 kali, ataupun 7 kali. Selain berziarah, ia mengatakan cara lain untuk mendapatkan berkah adalah dengan memberikan bungkusan atauoun besek yang berisikan bunga, bungkusan, uang, dan menyan. Setelah besek yang dibawa diberikan kepada penjaga, nantinya bungkusan itu di kembalikan, dan bisa kita simpan ataupun digantung di manapun, katanya bungkusan itu berfungsi untuk memancing rejeki. Ada juga subjek tambahan saya, ia mengatakan bahwa ia berasal dari pujon, ia mengatakan bahwa ia sudah sering berziarah ke wisata ritual gunung kawi semenjak ia masih gadis hingga sekarang ia sudah punya cicit. Ia percaya akan kekuatan mistik gunung kawi semenjak diajak oleh ibunya ketika ia masih gadis, dan ia-pun merasakan bahwa kekuatan pembawa rezeki itu memang ada dan sangat manjur. Menurutnya kekuatannya akan lebih efektif ketika berziarah pada saat kamis wage, atau malam jum’at kliwon. Namun berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, tidak adanya petunjuk tahapan atau tata cara pelaksanaan dari pelaksanaan ‘wahana’ ritual yang terdapat di wisata ritual gunung kawi, sehingga menyebabkan distorsi pemahaman dari para pengunjung, sehingga mereka cenderung untuk mengikuti alur sesuai dengan apa yang banyak diomongkan oleh masyarakat.

      dapat dilihat bahwa motif yang digunakan oleh para pengunjung wisata ritual gunung kawi adalah motif integrasi personal, karena kebanyakan dari mereka memiliki motif untuk kepentinggan diri sendiri. Dari informan – informan yang saya dapatkan, dapat saya lihat bahwa common sense masyarakat terhadap kekuatan magis gunung kawi sangat berperan dalam membantu dalam memotivasi masyarakat dalam hal mencari berkah. Hal ini juga diprakarsai oleh budaya kejawen, yaitu berziarah yang memang sudah sangat kental merasuk ke dalam masyarakat sekitar. ada informan yang mengatakan bahwa berziarah ke wisata ritual gunung kawi bukanlah sebuah perilaku musyrik, karena pengunjung datang, diibaratkan berusaha untuk mendapatkan berkah. Masyarakat sekitar pun mendukung tercapainya motif dari para pengunjung dengan menjual besek ziarah di sekitar pesarean, pengunjung diberikan fasilitas untuk berziarah, Pengunjung dengan leluasa mendapatkan besek ataupun perlengkapan lain, dikarenakan harga – harganya yang dapat dikatakan cukup terjangkau oleh pengunjung.
      Jika ditinjau dari teori kebutuhan (Hierarchy of Needs) milik Abraham Maslow, fenomena yang terjadi di wisata ritual gunung kawi sebagian besar masih berada pada tingkatan pertama, kedua,dan ketiga dari teori kebutuhan Maslow. Kebanyakan orang mengunjungi untuk mendapatkan berkah. Berkah dapat dikaitkan dengan rezeki, dan rezeki itu sangat identik dengan kesejahteraan. Ketika masih banyak orang yang mengunjungi gunung kawi dengan motivasi mencari rezeki, dapat kita lihat bahwa kesejahteraan masyarakat masih rendah. Fenomena ini dapat masuk ke tahap kedua juga, karena ada pengunjung yang berziarah untuk mendapatkan perlindungan, dengan harapan dapat merasakn perasaan yang aman. Fenomena ini dapat masuk dalam tahap ketiga karena banyak pengunjung yang mendatangi wisata ritual gunung kawi untuk diperlancar dalam mencari jodoh. Fenomena ini dapat masuk kedalam tahap keempat karena ada pengunjung yang memohon untuk diperlancarkan dalamn masalah karir, ataupun status sosial. Fenomena ini juga dapat masuk ke tahap kelima dikarenakan ada pula pengunjung yang sengaja berziarah, dikarenakan sudah menjadi passion dia untuk berziarah setiap bulannya. Pengunjung yang berada dalam tahap ke lima memiliki alasan yang sedikit irasional, biasanya ketika mereka tidak mengunjungi makam mbah Jugo, maka ada sesuatu yang dirasa kurang olehnya.
     Jika fenomena ini ditinjau dari segi psikologi perkembangan, informan utama yang saya dapatkan berada pada tahap dewasa awal. Dalam ilmu psikologi perkembangan, perkembangan kognitif yang terjadi pada tahap dewasa awal adalah Post-Formal Reasoning, dan yang sangat kental dalam fenomena ini adalah ciri Pragmatism dan Awareness of Paradox. Pragmatisme dapat dilihat dari segi bangaimana mereka berusah mencari berkah setelah mereka sadar bahwa, mereka ingin mendapatkan rezeki yang lebih, sehingga mencari jalan yang lebih singkat, dengan memohon rezeki di pesarean. Sifat pragmatis ini-pun dapat berkaitan denga konsep Awareness of Paradox, artinya ialah ia sadar akan resiko ketika ia tidak berusaha berziarah, ia akan mengalami kesusahan dalam hidup, maka dari itu ia mencoba untuk merubah nasibnya.
      Namun jika melihat kondisi informan sekunder, ia berada pada tahap dewasa akhir. Dalam tahap dewasa akhir, seseorang cenderung untuk tidak berpikir secara pragmatis. Dalam tahap ini seseorang sudah sangat susah untuk menerima informasi baru, dan ini terbukti ketika informan menceritakan “romantisme” masa lalu yang ia alami semenjak ia masih gadis, hingga kini ia memiliki cicik, hal ini menandakan bahwa Long Term Memory ( LTM ) lebih aktif dibandingkan dengan Short Term Memory ( STM ), karena ia bertanya berkali – kali asal saya. Jika kita melihat konsep LTM, yang berada dalam LTM adalah emosi dan kepercayaan. Maka dari itu biasanya pengunjung – pengunjung yang berada pada tahap ini, biasanya terletak dalam tahap kelima dari teori kebutuhna Maslow.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar